Senin, 14 April 2008

edisi 22

Luka Langit

petaka apalagi menimpa negeri ini
tak pernah berkesudahan
dan tak terhitung lagi
entah berapa ratus riwayat
menorehkan luka
perih yang terus juga menganga

dan betapa aku teramat nestapa
anakcucuku akan terperosok kedalamnya
sebab langit menghamparkan ayatayat darah
membelahbelah batubumi
diakah yang menanggung dosa
derita semesta

sementara tak ada yang pernah tahu
poros dunia
terus juga menggelindingkan bola kehidupan
keabad yang menusuk mata

duh kuhampar sajadah duka
dalam keheningan jiwa

Banjarbaru, 2006


Lilin Ulang Tahun

Aku masih berdebar
gempa tektonik dan gelombang tsunami
memuntahkan banjir bandang air laut
tak pernah pupus dalam ingatan
mata senantiasa perih meneteskan riwayat nestapa
ribuan nyawa yang tertulis di lubuk nurani

“ Sepanjang garis pantai Lhoksemawe - Lambada
aku berlari
kakiku menjerit di pasir dalam gumpalan buih
angin berkabut laut hitam
mulutku pecah berdarah memanggil namamu
di antara mayatmayat berserakan dan reruntuhan
porak poranda
tak ada jawaban bahkan tak ada tanda yang tersisa
aku menjadi kosong
Gemawan mulai turun matahari semakin tenggelam
dan hari berangsur kelam
Di pasir
di mana kau pernah merajah namamu
dengan hurufhuruf yang aku ajarkan
aku bersujud :
(Kakek ajari Cut tari ombak dan terumbu karang
seperti lumbalumba
ayolah
Angin begitu akrab di rambutnya
Matanya bertumbuhan bungabunga laut
Kakek tidak lama pulang ke Kalimantan kan
Cut pengen merayakan hari ulang tahun Kakek
Desember nanti di Aceh
Kakek Cut cape, gendong )
Tuhan bukakan pintumu bagi hambamu
seperti yang kau janjikan “

Aku masih berdebar
dan bergetar menyebut namamu
manakala lilin Desember menyala
di hari ulang tahunku

Banjarbaru 31 Desember 2005
Tafakur Memandang Waduk Riam Kanan

memandang permukaan wajahmu begitu tenang
langit yang terapung di atas membiaskan spektrum
kehidupan dan mengalir dari bibir bendunganmu
gemuruh di tubuh sungai
entah berapa kampung, dusun, kebunkebun, ladangladang
dan hutanhutan yang merelakan kau lahir
dengan sempurna di lembahlembah hijau
gununggunung yang menopang tubuhmu
dari segenap penjuru yang tak pernah terdengar keluh
dan orangorang tak pernah sepi datang ke sini
menimba kehidupan yang kau berikan
aku memandang pucukpucuk pinus yang berderai
entah apa terbaca hatimu
semacam memendam ribuan rahasia yang belum pernah
siapa pun mau menerjemahkannya
atau orangorangkah yang tak mau jauh berpikir sampai ke sana
tahunketahun senantiasa musim tak menentu
yang selalu lepas dari prakiraan cuaca
dan sungguh kau semakin merenta jua
guratanguratan semakin nampak di keningmu
karena lukaluka ini semakin menganga
aku pernah mengingatkan hal ini kepada orangorang
seperti yang pernah kau ajarkan padaku
tapi mungkin kepercayaan ini begitu purba
di halayak zaman penuh pesona
masih juga wajahmu begitu tenang
tapi ombakombak di wajahmu terus juga melayarkan
bayangbayang kegelisahanku
pada bendunganmu yang meneteskan darah di mataku
dan gemuruh di tubuh sungai
meluap sampai kesegenap penjuru
karena gunung tak berhutan lagi
bukitbukitbatu telah menjadi material jalanan
rumah pemukiman atau gedunggedung bertingkat
membayangkan kau tak mampu lagi menampung
guyuran hujan yang berkepanjangan dan loncatan air
dari lerenglereng perbukitan sedang bendunganmu
kian keropos dimakan zaman
membayangkan peristiwa duka yang tak hentihenti
entah berapa kampung dusun bahkan kota ini
dengan penghuninya akan musnah tiada tersisa
dalam muntahan bendunganmu yang teramat mengerikan
membayangkan sebuah kota yang bernama serambi mekah
dalam riwayat yang menyedihkan

masih tersimpan dalam ingatan
sebuah tangis pertama ketika kau lahir
menulis hari kelahiranmu di tebingtebing gunung
dan menulis perhentian hidupmu di lembahlembah
langit dan pepohonan hijau dan bukitbukit batu
saksi sejarah dari sumber hidup dan kehidupan

tapi juga sumber dari petaka
orangorang selalu meratap setelah bencana
tapi adakah yang peduli mengapa terjadi bencana
setiap aku memandang permukaan wajahmu yang biru
dengan segala pinusmu yang belederu
Tuhan sesungguhnya kau tak ada niatan murka pada negeriku

Banjarbaru, 2001

Tidak ada komentar: