Senin, 14 April 2008

edisi 1

Narasi Ayat Batu

Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku

Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi
hutanmu
Dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih

Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganku
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu

Banjarbaru, 2000


Narasi Pohon Senja

Kukalungkan lampulampu di ranjangmu
Lalu kujadikan pengantin
Lalu kunikahi daunmu kepompong birahi
dendam
Lahirlah kupukupuku
Betapa nikmat dalam dahaga
Menjelajah tubuhmu
Mencari rangkaian bunga
Jauh dalam lubuk jantungmu

Banjarbaru, 2000

Narasi Gairah Embun

Menjilati garisgaris permukaan tangan
Menggendong keranjang yang kita anyam
Setetesdemisetetes embun kita kumpulkan
Bertebaran dalam mazmurmazmur malam

Kita bersidekap dalam gumpalan warna angin
Membakar lipatandemilipatan tubuh fana
Mata mencari sesuatu yang pernah kita punya

Sebelum keburu surya bangkit dari mimpinya
Kunyah segala dedaunan dan akarakaran
Jadi serbuk hatinurani
Kucurkan ke piala kita tanpa sisa
Agar bebas dari perangkap dusta

Mulutmu wangi sarigading
Menyentuh gordengorden jendela
Tapi jangan kau buka
Sebentar lagi pagi beranjak tiba

Banjarbaru, 2000

edisi 2

Narasi Tanah Kelahiran

Dalam lindap lembayung senja
Kemana risalah burungburung putih
Tibatiba kau jatuhkan sebiji rambai
Seketika masasilamku terpanggang
di rerumpun bakau

Kau beri aku sampan
Riakdemiriak menyusuri uraturat nadi
Wajahmu sudah lain tapi begitu angkuh
Tumbuh rumahrumah batu

Orangorang tak pernah kukenal lagi
Dengan salam yang pernah kau ajarkan
Lihat ketika kau jatuhkan lagi sebiji
Tanganku kenapa begitu bodoh
memegang dayungmu

Banjarbaru, 2000


Narasi Burung

Kulepas burungburung
Ke awanawan serbuk masasilam
Sebab pepohonan yang kutanam
Menanggalkan dedaunan
Helaidemihelai namamu
Rebah ke bumi

Sepanjang khatulistiwa
Matahari berdarah
Menetes di bulubulunya
Yang putih
Maka jangan kau cari lagi
Siapa yang luka di antara kita

Jangan kau tanya lagi
Benih dalam rahimmu
Yang terbelah
Oleh bibirbibir kita sendiri
Dari peradaban yang hilang

Terbanglah membidik masadepan
Di hatinurani yang terbakar
Gumpalan rindudendam
Dan lepas dari ikatan

Banjarbaru, 2000


Kubaringkan Tubuhmu

Kubaringkan tubuhmu di sini
Sampai batas pertemuan kita
Tak usah kau hitung lagi
Harihari perjanjian dendam
Dari negeri jauh
Sebab berulangkali
Kubiarkan wajahmu cuma
Bayangbayang tak kumengerti
Melintasi setiap kutub
Dimana kita ingin membaca
Isyarat lengsernya senja
Maka jika kau cari
Gumam doadoaku
Jangan kau tanya lagi
Persinggahan ini

Banjarbaru,2000

edisi 3

Berangkat Pulang

Di atas batu langit kian kuning
Sungai di mana matamu mengaca
Ikanikan berenang di hatimu
Apakah mengukir jauh perjalanan
Ke kutub mana kita pulang

Entah berapa matahari
Telah lengser di sini
Dan entah berapa kali
Kau lahir kembali
Sepanjang tebing
Tak ubahnya bambubambu

Tak ubahnya fatamorgana
Kasidah burungburung senja
Melintasi persawangan
Memahami doadoaku yang panjang

Memahami keduakakiku
Di dusta dunia


Banjarbaru,2000


Zikir Senja

Tak terbaca lagi ayatayat
Yang Kau hamparkan sepanjang perjalanan
Menuju rumahMu
Tak mungkin kembali
Menangkap AlipLamMim dari pintu bumi
Kandang dombadomba yang lapar
Semakin jauh berjalan
Kucurigai langit
Menyembunyikan bintangbintangMu
BulanMu bahkan matahariMu
Kucurigai laut
Menyentuh kakiku
Buihbuih merajah pausMu yang kian punah
Jasadku untaunta
Rohku kafilahkafilah
Di gurungurun bukit Thursina
Kucurigai rumahMu lengang
Kucurigai mengapa Kau tunggu aku
Di Jabal Rahmah
Aku
Anak Adam
Yang tersesat di sajadahMu


Banjarbaru, 2000


Kau Tulis Surat

Kau tulis surat
Tapi masih juga kau tanya
Alamatku : Persinggahan
Burungburung laut
Memberi isyarat pantai mana
Gemuruh ombak di bathinku

Lama kubaca tubuhmu di pasir
Setiap ciuman ombak
Kupasang layar ke laut lepas
Kita samasama meniti buih
Sampai terperangkap
Di jaring matahari

Diamdiam masih juga
Kau tulis surat
Di karangkarang laut


Banjarbaru,2000

edisi 4

Rumah Ilalang

Setiap kukatupkan mata di rahimmu
Fosfor di puripurimu
Senantiasa membangkitkan igauan
Dalam kerlip dan dalam gumpalan warna
Sayatan rindu percintaan kebencian
Dari pusar bumi
Dan dalam desis angin
Memanjang gairah luka
Di langitlangitmu tak bertepi
Tak hentihenti kusebut namamu

Kemana katupan mata terbuka
Menyaksikan jemarimu gemetar
Membuka fajar senja

Banjarbaru, 2000


Saat Senja Pun Jatuh

Jangan kau rangkai bungabunga
Yang kau petik dari taman mimpi
Tapi rangkailah tubuhku
Yang kau ambil dari tulang rusukmu

Tak ada lagi
Rahasia yang menyimpan kesangsian
Maka tatkala gemawan turun lihatlah
Kita tak pernah lagi memiliki malam
Yang luput dari tangan

Lihatlah kerinduan yang kau hamili
Setiap kita menutup jendela
Setiap kita mengatupkan mata
Memandang jauh
Kesetiaan mentari ke kutub sana

Banjarbaru, 2000


Ekstase Seorang Pejalan Jauh

Pintalan benang sepanjang kutub
Kau tabur di kakikaki langit
Begitu spektrum di jarijari
Meneteskan narasi beribu kata
tamasya matahari menisik kulit bumi
berwarna jelaga oleh keringat belantara
oleh jilatan lidah beribu burung malam
Masuklah katamu sesampainya di pintu
Ke dalam bilik kaca dimana kita pernah
ziarah setiap pandang mata
Masuklah ke dalam ranjang purba dimana kita
pernah bercinta dan lenyap begitu terjaga
lalu dibakar sunyi
lalu abadi keluhan rindu dendam di sini
Masuklah ke dalam pejaman mata :
Begitu takjub mendengar kokok ayam jantan
mematuki sisasisa malam di kelopak rerumputan
Bulubulu mosaikkukah itu
Kau tersenyum membuka pintu


Banjarbaru, 2000

edisi 5

Syair

Syair siapa yang mengumandangkan sabda alam
Syair siapa yang mengisahkan perjalanan cinta
anakanak Adam
Syair siapa yang melukiskan petanipetani anggur
di tanahtanah padang terbuka
Syair siapa yang meratapi segala bencana
Syair siapa yang mengutuk orangorang yang celaka
Bahkan ya Rabbi
Syair siapa yang membuka segala rahasiaNya
dalam diri kita

Maka perkenankan ya Rabbi
Jangan Kau pisahkan kami
Sebelum sempat memunguti
Liriklirik yang tercecer
Halamandemihalaman yang kami baca

Banjarbaru,2000


Fragmentasi Kembang Ilalang

Duabelasribu kembang ilalang tumbuh
di kepalamu
Suatu nanti bulubulunya meriap seperti
alapalap di sayap angin perubahan musim
Terus
begitu ringannya berbaring di tempat
tidurmu masadepan
Terus
kau pun akan merasakan pejaman mata
tak kau bayangkan nikmatnya nikahan rindu
sebelumnya
Terus
Kau pun akan merasakan diamdiam adanya
kehadiran mimpi yang bangkit dari kuburnya
berabadabad sewaktu samasama penghianat
cinta
Terus
pelanpelan kau ditarik ke beranda rumah
mewedang serbuk matahari sepiala
harapcemas tiap pause menyapa dengan rasa
iba atau belaskasih tetapi
Terus
matamu meneteskan bocahbocah sedang dolanan
acuhtakacuh di hatimu
Terus
tibatiba kau sangat pengen menuruni tangga
dituntun seseorang yang tak pernah kau kenal
lagi dari masasilam
Terus
tak diduga jatuh di sebuah sungai amat deras
Terus
kau saksikan tubuhmu hanyut dan tak berdaya
menyelamatkannya
Terus
terdampar di negeri bangunan batu karaha
beraroma perawan duabelasribu bidadari
bercadarhitam bermatajambon
Ah
Terus
bersayap tipis wirasa menyapu awan
daminatila
Ah
Terus
sudahlah jangan kau panggil lagi namamu
jangan kau harap lagi jawaban tak pasti
mungkin aku telah mati
Astagfirullah

Banjarbaru, 2000

edisi 6

Etam Sayang Gunung

Rangka Kenyah
Rangka Kenyah dangsanak etam
Dangsanak puakapuaka di riamriam
Darahnya getah kayu talikan
Rangka Kenyah cucu Damang Ebbeh
Pemimpin legendaris pegunungan meratus
Mengajarkan pada etam
Bagaimana mencintai alam
Mengharamkan kotoran narkoba
Mengharamkan budaya ngerpe
Dan segala tipu muslihat
Mengingatkan pada etam
Jangan terbuai dengan hasil teknologi
Karena etam hanya bisa membeli dan memakai
Tetapi tidak bisa menciptakannya sendiri
Mengajarkan pada etam
Jangan menyusahkan guruguru etam
Jangan bikin pusing masyarakat lingkungan

Rangka Kenyah
Rangka Kenyah putra Indonesia
telah tuantuan lupakan
Tanahladang Rangka Kenyah
Tuan gusur tanpa belas kasihan
Kemudian tuan buat pemukiman trans
Tanpa beretika sama sekali

Lihatlah tuantuan
Seribu Rangka Kenyah tercampak
Di lembahlembah pengasingan
Duhai berbulu landakkah hati tuan
Rangka Kenyah
Rangka Kenyah putra Indonesia
Tuan tuduh huma berpindah
Sumber malapetaka
padahal hutanhutan beratus tahun
Dibabat habis untuk kekayaan tuantuan
Sehingga seribu Rangka Kenyah terusir
Di padangpadang perburuan
Duhai sarang kabibitakkah jantung tuan
Tuantuan
Lihatlah tuantuan
Rangka Kenyah
Seribu Rangka Kenyah menatap langit
Nyanyian seribu gelisah
Di kakikaki pegunungan meratus
Nyanyian seribu duka
Di puncakpuncak pegunungan meratus

Etam cinta tanahbanyu turuntemurun
Nyalakan damar di uluulu
Bumi menangis diamlah sungai mengalir
Etam batandik di duri rukam
Ambilkan sumpit buluh kuning di gunung ampar
Suruh ikat talimbaran di batu pancur

Apabila pecah bulanai
Jangan dipagat akar kariwaya
Maka pagari ruh dengan tulang etam
Maka pagari ruh dengan darah etam
Tajaki tunggul puaka di riamriam

Dangsanak
Pegunungan meratus inilah
Tumpahdarah etam yang tersisa
Dari titis nenekmoyang
Maka janganlah dangsanak bikin
Eksploitasi kawasan hutan lindung
Karena dangsanak menciptakan wabah anak sima
yang berlidah halimatak
yang melatiklatik di daundaun kehidupan etam
Dan janganlah dangsanak bikin
Pertambangan batubara di tanahbanyu etam
Karena dangsanak menciptakan wabah bumburaya
Yang bertaring babi hutan
Yang mengaduk ladang kehidupan etam
Yang membongkar kubur kehidupan etam
Maka dengarkanlah suara hatinurani etam
Demi Indonesia tercinta


Banjarbaru, 2000
***
Rangka Kenyah : Kepala Suku/Damang
etam : kita/kami
dangsanak : saudara (sapaan)
puaka : demit penunggu hutan
talihan : sejenis ulin
kabibitak : sejenis laba - laba beracun
ulu : daerah atas, daerah hulu
batandik : menari - nari memanggil dewa
talimbaran : tali dari kulit kayu
bulanai : gentong, tajau (tempayan)
dipagat : diputus
kariwaya : sejenis beringin
tajaki : tancapi
riam : sungai menyerupai air terjun
anak sima : hantu bentuknya seperti tuyul
pemakan jantung manusia
malatik : berjalan dengan badan
halimatak : lintah pengisap darah,bentuknya
agak kecil dari pada lintah di air
hidupnyadi hutan lebat
bumburaya : raksasa pemakan mayat

edisi 7

Romansa Bulan Saga

Langit begitu aneh barangkali ada
Yang tersimpan di balik hutan
Malam jadi kelabu menyembunyikan
Seluruh bayangbayang metropolis
Bulanku kristal harapan warga kota
Hai bulanku bulan saga

Seekor naga merkuri jadi birahi
Menggeliat membelah kota
Menebar sisiksisik emas
Menjanjikan masa depan idaman
Dari utara angin dingin dan sepi
Dan begitu wangi seluruh mimpi
Bulan hai bulanku saga

Tak ada lagi yang harus dipercakapkan
Sepanjang trotoar
Kecuali merasakan desahan napas bumi
Napas seseorang yang lahir dari bulanku
Di jantung kota dijadikannya kebun pisang
Di bahana sunyi kudengar ada senandung
Metropolis adakah pisang berbuah duakali
Jika kau ingin pisang maka tanamlah lagi
Bulan hai bulanku bulan saga

Banjarbaru,2001


Romansa Seekor Hong

Di bawah bulan kau asyik merajut perca sutra
Kupetikkan melati di antara meihwa
Angin Gobi berembus di daratan Indonesia
Tapi kau telah melahirkan seekor Hong

Di bulan Desember kau berikan segalanya
dalam tiupan sembilanbelas lilinmerah padaku
dan setiap pagi
kita takjub mendengar kicaunya

Sejak ia tersesat di hutan Yangliu
dan tak pernah kembali lagi Sui Lan
Sejak itu pula tak pernah lagi
kudengar nyanyian Chun Chiu

Dalam malam yang kelam
ranjang tak pernah lagi memberi arti
Di mata terpejam aku bangkit
dari serbuk bintangbintang
Kutatap pucuk hutan pinus
dan tenggelam di sungai Yang Tze

Banjarbaru, 2001


Romansa Setangkai Bunga

Sempurnakan jerit setangkai bunga
Agar mimpi jangan gelisah
Waktu pagi dibasuh tangisan kecil
Tapi aku tak ingin siapa pun
Mengusik ujung kelopaknya
Sebab setiap tetes embun
Adalah suara rintihan riwayat
Kerinduan

Tak perlu jambangan
Sebab akulah jambangan setiap rintihan
Tuhan ku taruh keyakinan
Jangan kau sembunyi di balik anganangan


Banjarbaru, 2001

edisi 8

Romansa Di Bawah Hujan Cinta Pun Abadi

Tak hentihenti di dunia ini sengketa
Apa dicari di atas duka dan sengsara manusia
Tapi ya Rabbi aku hanya berpihak kepadamu
Sesungguhnya kau lah kebenaran itu
Masuklah ke dalam kekosongan jiwa
Karena derita dunia
Di bawah hujan tengadah ke cakrawala
Kita cuma berdua
Hujan adalah rahmat hujan adalah nikmat
Dan kita basah dalam rahmat dan nikmat

Banjarbaru, 2001


Suatu Telaga Akhir Tahun

Seekor belibis terjun ke telaga
Percakapan ini terhenti seketika
Terasa aku tinggal sendiri

Samar caya di daundaun padma
Apa lagi yang bisa kukenang
Bila bulan kehilangan bayang

Kala ikanikan telah menyepi
Siapa antara kita
Yang hilang dalam diri

Jika aku lahir kembali
Isyaratkan di mana riak
Menyimpan mimpi

Banjarbaru, 1999/2000


Pertemuan

Setiap pertemuan tak ada pembicaraan
Cuma bersitatap penuh kecurigaan

Sesampainya kemari kau menemuiku lagi
Dengan sebilah belati
Kau berkata : Tikamlah sepi

Harus ada keberanian dalam jiwa yang lelah
Tangantangan perkasa
Kau datang lagi
Dan berkata : Tikamlah sunyi

Dalam pertemuan itu kau tak pernah
datang lagi
Terakhir kali
Kau berkata :
Dengan rasa dendam
tikamlah dirimu sendiri


Banjarbaru, 2000

edisi 9

Jalan Betapa Lengang

Habis sudah dendamnya
Kelewat dendam
Dan bersumpah
Suatu kali telunjuknya ke cakrawala
Bibir agak bergetar mungkin
Ada sesuatu tak terucapkan
Bermata sayu
Kosong

Jalan betapa lengang

Matahari kehilangan warna di cakrawala
Langit kehilangan warna di cakrawala
Sungai kehilangan warna di cakrawala
Pelangi kehilangan warna di cakrawala
Bulan bintangbintang kehilangan warna di cakrawala
Pesawangan kehilangan warna di cakrawala
Cakrawala kehilangan siapa

Jalan betapa lengang

Angin tak berkata apaapa
Ada seseorang mati
Di atas dedaunan kehidupannya
Yang luruh

Banjarbaru, 2000


As One of the Song, Mamimeca

Tatapan apa matahari bakal tenggelam
Riwayat berabadabad jauh di dasar laut
Dari koloni larva bintang
Aku tahu betapa letih wajahmu
Dalam gugusan maha kelam
May soul stay in the wind, Mami

Sepanjang semenanjung berembus
Lebur dalam tubuhmu
Don’t give me your wave
Aku berlari di tengah pasir
dan mengunyah semaksemak ganggang
Di tengah rapat matamu : Please come in
Lalu kupintal rambut kita perak

Lalu kubaringkan tubuh kita di pasir
Beralas serbukserbuk ganggang
Kutulis bibirmu dari langit berawan
Entah apa aku kenal musim hampir tujuh puluh
musim purba ketika berlabuh
Ketika kau berkata : No, I prefer to the sea

Entah apa
Aku jadi segumpal ruh di buihbuih
Sure, I am is the nearest harbour
Kau berkata lagi : You are is My

Kupetik bunga laut
Kupetikan yang tumbuh di rahimmu
Agar gemawan perlahan turun
Agar abadi segala rindudendam
I see :We are far away from here
Di matamu ada cincin di jari
Membalikbalik lembar usia
Menyisir lidah pantai
Menyisir karangkarang laut

Adalah ujung penghabisan senjakala
Kita terbakar dan hangus
dalam bayangbayang


Banjarbaru,2004

edisi 10

Elly : So’nata is Silent

Aku musafir
Liriklirik yang jatuh dari matamu
Jatuh gemercik : Give to me one the world
Di kulminasi bukit
Kupetik kembang ilalang :
May sure not at all raincloud
Elly di tebingtebing :
I have lost my wind

Kupetik seribu kupukupu
Yang tumbuh di rambutmu
Lalu kuterbangkan
Ada desiran panjang :
I am on the run and to dream

Sebab aku musafir
Sebab akulah kau yang diam
Yang mendaki mimpimimpi yang panjang
Dalam suarasuara yang lenyap dan hilang
Matahari menjelma ombak dan berbuih
di batubatu
Elly, I am is him : Wanderer fatigued

Banjarbaru, 2004


In My Last Mirage

Jangan ada lelap
Lihat gemawan pada sawang
Di dadaku menyimpan warna langit
Rain will falls, can you go far
Jangan ada duka
Sebab karena angin atau my solitude

Sebab cahaya di sungai
Entah apa kau bagai sebuah nyanyi
tanpa lirik : Say me
Where is your raft

Antara gugusan burung senja
Teach me know him, from your love
Mengapa kau berhenti
melintasi jendela yang terbuka
Look at me, I’ll meet you in the pier
Manakala langit tidak jingga lagi
Maka apakah nyanyi diam terhenti
But he always to stick art me

Banjarbaru, 2004


Tari Sunyi

Asap wewangian jatilan menetes
setiap ruh itu merasuki sunyi
Taksu tertanam dalam tubuhmu
Menarilah atas nama purnama

Jemarimu menatah seribu musim
di layarlayar kehidupan
Dan berkata : Inilah riwayat
altar pemerajaan sunyi

Orangorang pada takjub memandang
tubuhya sendiri di atas panggung
Tatkala ruh caya bulan membungkus
tubuhnya

Sebelum suarasuara gaduh di luar
panggung jadi sempurna
Diamdiam kau abukan dirimu
jauh ke dalam sunyi

Banjarbaru, 2004

Taksu : Dewa kekuatan

edisi 11

Ekstase Ulang Tahun

Ombakombak kecil pecah di bibir piala
Matamu menjadi setangkai anggur
Menjadi pecahan kembang api
Saat kita dengar dentang lonceng

Kita jatuhkan dendamrindu
Kita jatuhkan di lantai satupersatu
Saat kita nyalakan lilinlimaempat
Saat kita tanggalkan satupersatu pakaian
di muka cermin dan bertatapan
Memetik hatinurani sebiji anggur
lalu dirangkai menjadi kalender
Lalu digantung pada usia purba

Kita gantung segala mimpi
Persis seperti dalam perjanjian
sewaktu masih segumpal darah

Banjarbaru, 2003/2004


Ode Peziarah

Sesampainya di ujung
Diamdiam kau beri aku simpang
Sebab aku pesangsi harihari perjanjian
Barangkali ada yang hilang antara kita
Sebab status telah berganti rupa

Masih juga belum usai percakapan diam
Langit menabur dupa kekosongan jiwa
Alangkah pejamnya mataku
Menatap pisau waktu

Kau gaibkan wajahku di batubatu
karena tak aduh berkalikali sayatan rindu
Beraliralir dendam dalam bahasa kalbu
Maka kupanasi segenap jalan
Kupanasi tanganku gemetar
menangkap zikir yang melayang
jatuh di tapaktapak kakimu

Banjarbaru, 2003


Sebelum Usai Hujan

Nyalakan lagikah lampu yang padam
Di luar seperti ada ketukan
Tak hentihenti dilenguh angin
Kita tak jua sempat menyiapkan
sahutan

Hujan meneteskan ekstase pisau
di daun pintu pada setiap ketukan
Kitalah pejalan zikir yang terluka
Tanah ditumbuhi ejaan ayatayat

Kau ketuk setiap kali ada sayatan
serupa wewangian ruh melayang
dari lobanglobang kunci
Ratapan pepohonan basah mengekalkan
bayangan diam

Kau biarkankah lampu yang padam
Gerimis di kaca jendela masih juga
mengutakatik gelisah pandang mata
dan jamdinding telah memasang
perangkap dusta


Banjarbaru, 2003

edisi 12

Lanskap Sanggama Bunga

Telah kau tabur bisa pada jambangan
agar kita mabuk hingga fajar tiba
Sebab setiap igauan adalah tutur
riwayat kamasutra

Akulah yang terperangkap
dalam tangkapan parfum cintamu
Duridemiduri mengekalkan
lukabirahidendam

Kau beri aku kelopakkelopak
yang senantiasa berbuah
nikah tak jadijadi
yang senantiasa meneteskan
kebencian dan rindu

Aku yang terperangkap
peziarah dalam dukamu

Banjarbaru, 2003


Merampas ciuman Berabad Abad

Alangkah tak terjamah birunya langit
Mataku tunduk hanya dapat menyentuh
ujung kakimu
Andai pun sekejap kau beri aku
penerang jalan
Barangkali t’rasalah luput dari
keasingan

Datanglah yang membisikkan rahasia
kehidupan ke telingaku
Bibirku berabadabad menyala dalam
kesunyian
menyala dalam sakwasangka napas
pelagu rindu

Musafir itu beerkata : Aku dahaga
dalam lautmu
wahai merapatlah cintaku yang
berderai

Bintanglah yang menyerbuki
setiap langkah
Sungguh kelam
wajahmu dilarut malam

Banjarbaru, 2003


Sampan Nuh

Sungai melahirkan sampan penuh dendam
Kau beri aku ombak dalam bathinku
tanpa ada tepi
Penyeberangan adalah pikiran
ditumbuhi burungburung tanpa ruh
menempuh perjalanan pulang

Di tanganku dayung belum juga terjaga
dalam isyaratisyarat tak terbaca
Benihbenih dendam sarat dalam urat nadi
tak aliralir
Kau anginkan seluruh kalimat doa
di jagatjagat

Sampan adalah jarak dan waktu
Yang dibentuk sayapsayap burung
Yang lelah menuju seberangMu


Banjarbaru, 2003

edisi 13

Darah

Adalah langit darah berdarah
Tak habishabis jadi laut berabadabad telah
tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu
tak singgahsinggah pada dermaga darahku
Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu
kutubku tenggelam dalam kutubmu
menghempas napas darahku membatubara
di kunci rahasia Alifmu Alif Alif
darah Adamku yang terdampar di bumi
yang rapuh berabadabad mencari darah hawaku
yang rapuh tersesat di belantaramu meraung
darah laparku mencakarcakar mencari darahku
beri aku barang setetes Hu Allah
getar alir napas menyeru darahmu
mengalir darah mataku mengalir darah musafir
di sajadahmu
mengalir menuju rumahmu

darah hidupku Hu Allah
darah matiku Hu Allah
darah hidupmatiku Hu Allah
darah raungku Hu Allah
darah cakarku Hu Allah
darah laparku Hu Allah
darah hausku Hu Allah
darah ngiluku Hu Allah
darah rinduku Hu Allah

manakala darah tak keringkering
mendustakan firmanmu dan tak hentihenti
berpaling pada jalanmu
malam tak lagi malam siang tak lagi siang
bulan bintang matahari kehilangan terang
apatah lagi yang mampu meneteskan

darah kehidupan Hu Allah
semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubillah
darahku astagfirullah
darahku subhanallah
Allah

Banjarbaru, 2004


Orang Asing

Menyaksikan percintaan seekor baboon
di Suchumi, Kaukasus, orangorang berjubel
tibatiba di antaranya ada yang berseru padaku :
Itu Pierre Brassau si pelukis simpanse
aku telah melihatnya dengan jelas di Goeteborg
tak salah lagi, dia orangnya
Aku malu pada diriku sendiri lalu diamdiam pergi
Dan ketika di tengah riuh tepuktangan Hongaria,
aku membaur di antara kaum zanggi
yang asyik dengan orkestranya
orangorang berjubel
tibatiba di antaranya ada yang berseru padaku :
Itu Pal Ract kelahiran Nograd
Orangorang kagum memandangku
Dengan rasa kecut kutinggalkan warung kopi itu bergegas
Dan ketika di tengah lapangan, dengan rasa ngilu
menyaksikan Adolf Hitler membantai serdadunya sendiri
yang mengunyah musik karena lapar
dan Khomaini seorang sekte itu geram :
Musik tak ubahnya candu, kemudian
mengganyang semua rekaman di Iran
sedang Plato rupanya sejalan pikirannya

Di suatu negeri
orangorang mengerumuni aku
seseorang berkata : Aku tak mengenalnya
dia tak bernapas sedenyut pun
seseorang berkata : Dia hanyut dalam mimpimimpinya
lihat matanya berkacakaca
seseorang berkata : Dia gairah menjilati anganangannya
lihat mulutnya tersenyum
seseorang berkata : Dia sedang berduka
lihat jidatnya penuh luka
seseorang berkata : Dia mabuk rindu
lihat wajahnya ranum
seseorang berkata : Sungguh malang dia korban dekadensi
seseorang berkata : Hai sepertinya dia kaum metafisis
di antara orangorang berkerumun : Apakah dia seorang
penghuni puing benteng Vredeburg tubuhnya terbujur
kaku
menyedihkan sekali
di antara orangorang berkerumun : Dia mati
lalu menyanyikan sebuah requiem
bagai ruh asap
menyelimuti negeriku
yang terkubur jauh dalam diriku

Banjarbaru,2004

edisi 14

Pada Suatu Stanza

Jangan ratapi kematian
Kau tak akan pernah mengenal airmata
Apakah ada cinta yang abadi
Jika ada yang hilang pada dirimu
Dan ratapan segenap putusnya ikatan
Ia adalah dusta cintamu
Dusta di balik gulita dalam terang
Yang tak habis membaca rahasia kehidupan

Tapi kuratapi hanya kau kekasih
Yang ingat belasungkawa dalam diam
Dan tak pernah rintih dalam kerinduan
S’tiap kuusik tidurku dalam diri
Kau berkata : Jauhkan cinta pada ajalku
Ia adalah altokumulus kehidupan
Yang tak lepas meracuni setiap orang
Maka aku berpihak kepadamu

Aku berpihak kepadamu kekasih
Mataku selalu jaga kala tidur
Aku berkata : Ekstase jiwa
pengungkap segala dusta semesta
Di mana sukma pikiran
Lahir tanpa ibubapa
Aku dalam renung
Yang berpihak kepadamu

Banjarbaru,2004


Mati

Tidur sebelum kau tidur
Bangun sebelum kau bangun
Ada kematian tak terduga
Dan jisim
Adalah perahu kertas di laut lepas
Kosongkan segenap jiwa
Adakah kekekalan sebuah cinta ?

Mati adalah anugerah
Alangkah malangnya ada kematian
Tanpa sebab
Dan alangkah malangnya lagi
Orang membunuh dirinya sendiri

Illahi
Beri aku anugerah
Atas panggilan ridhomu


Banjarbaru, 2004


Perempuan Itu Bernama Pertiwi

Menyaksikan sebuah kota bermandikan embun
Wajah perempuan itu jadi ranum
Seorang perempuan yang selalu setia
Menuliskan sejarah di sepanjang trotoar
dan jalan yang setiap waktu dilintasi
oleh peradaban manusia

Dia adalah seorang perempuan tua perkasa
Yang merawat kota ini dengan segenap napasnya
dengan kedua tangannya teramat asih
orangorang tahu dia lah yang melahirkan
Adipura yang dipersembahkannya buat kotanya
Perempuan tua itu bernama Pertiwi

Pada sebuah taman di jantung kota ini
Bungabunga cinta selalu bersemi
Yang mekar di setiap lubuk hati warga kota
Sebab Kartini tak pernah mati
Dan selalu lahir kembali

Hari ini perempuanperempuan warga kota
Menatah panjipanji dimensi emansipasi
Terdengar merdu di sepanjang trotoar dan jalan
Perempuan itu bersyair tentang sang surya
Membuka tabir gulita dunia

Banjarbaru, 2005

edisi 15

Pada Suatu Stanza

Jangan ratapi kematian
Kau tak akan pernah mengenal airmata
Apakah ada cinta yang abadi
Jika ada yang hilang pada dirimu
Dan ratapan segenap putusnya ikatan
Ia adalah dusta cintamu
Dusta di balik gulita dalam terang
Yang tak habis membaca rahasia kehidupan

Tapi kuratapi hanya kau kekasih
Yang ingat belasungkawa dalam diam
Dan tak pernah rintih dalam kerinduan
S’tiap kuusik tidurku dalam diri
Kau berkata : Jauhkan cinta pada ajalku
Ia adalah altokumulus kehidupan
Yang tak lepas meracuni setiap orang
Maka aku berpihak kepadamu

Aku berpihak kepadamu kekasih
Mataku selalu jaga kala tidur
Aku berkata : Ekstase jiwa
pengungkap segala dusta semesta
Di mana sukma pikiran
Lahir tanpa ibubapa
Aku dalam renung
Yang berpihak kepadamu

Banjarbaru,2004


Mati

Tidur sebelum kau tidur
Bangun sebelum kau bangun
Ada kematian tak terduga
Dan jisim
Adalah perahu kertas di laut lepas
Kosongkan segenap jiwa
Adakah kekekalan sebuah cinta ?

Mati adalah anugerah
Alangkah malangnya ada kematian
Tanpa sebab
Dan alangkah malangnya lagi
Orang membunuh dirinya sendiri

Illahi
Beri aku anugerah
Atas panggilan ridhomu

Banjarbaru, 2004


Perempuan Itu Bernama Pertiwi

Menyaksikan sebuah kota bermandikan embun
Wajah perempuan itu jadi ranum
Seorang perempuan yang selalu setia
Menuliskan sejarah di sepanjang trotoar
dan jalan yang setiap waktu dilintasi
oleh peradaban manusia

Dia adalah seorang perempuan tua perkasa
Yang merawat kota ini dengan segenap napasnya
dengan kedua tangannya teramat asih
orangorang tahu dia lah yang melahirkan
Adipura yang dipersembahkannya buat kotanya
Perempuan tua itu bernama Pertiwi

Pada sebuah taman di jantung kota ini
Bungabunga cinta selalu bersemi
Yang mekar di setiap lubuk hati warga kota
Sebab Kartini tak pernah mati
Dan selalu lahir kembali

Hari ini perempuanperempuan warga kota
Menatah panjipanji dimensi emansipasi
Terdengar merdu di sepanjang trotoar dan jalan
Perempuan itu bersyair tentang sang surya
Membuka tabir gulita dunia

Banjarbaru, 2005

edisi 16

Kaukah Di Balik Lubang Kunci

Tak terhitung lagi bintang jatuh
Membaca ayatayat pisau pada usiaku
Isak pejalan jauh haridemihari
meranggas dosa semesta
Ruh itu tak mampu lagi
meniup sayapsayap laron
berserakan pada tarikan napasku
pada setiap desis zikirku

Kuusap namamu yang telah lama mengabur
pada setiap dinding denyut nadiku
denyut yang terlipat dalam sajadahmu
dari pejalan jauh yang lupa alamatmu
Kaukah di balik lubang kunci itu

Banjarbaru, 2005


Sebuah Kata Yang Pecah

Kueja setiap ziarah ayatbatumu
Requiem isak bumi
Bumi yang menapaskan ruh
pada namamu
Kubangun kecemasan
Karena kehilangan alifmu
di setiap pintu rumahmu
di setiap aku menyeru
Aku rebah di bumi
Rebah menciumi tapakdemitapak kakimu
Menciumi rahasia katademikata
yang kau tebarkan di sajadahmu
Aku rebah di sebuah kata
yang kau ayatkan pada napasku

Banjarbaru, 2005


Notasi Di Atas Kota

Traffic light tibatiba padam
Seperti hutan pinus dalam angin
Fijarnya tak sempat melahirkan ayatayat pada bibir
Di hobbies cafe orangorang tak ubahnya
ruh notasi meluruhkan bulubulu mata
Gelas juice yang berisi parfum dekadensi
mendesiskan serbukserbuk blues
yang tak mampu dibaca ribuan tuts di jariku
Di balik itu kau berkata : Carilah wajahmu dalam wajahku
Jam lebih cepat memburu diriku
di sepanjang trotoar yang basah oleh penyanyi sunyi
Basah oleh percakapan tak usaiusai

Orangorang masih juga hanyut dalam gelas kaca
dalam kepak malam seribu rupa
wajahmu terus juga menghitamkan deretan meja dan kursi
dalam jarijariku yang diam
Kota yang diam


Banjarbaru, 2005

edisi 17

Violces Norsiotah

Aku sudah berupaya juga membujuk tidurku
semalammalaman membiarkan angin
meluruhkan cahaya lampu
ke balik malam yang tak berbulan
Tahutahu kenapa kembang violces
di jambanganku semerbak di pembaringanku
Tidak sempat aku membuka pintu :
“Aku datang bersuluh bintang”

Esoknya aku teringat violcesku
Aku termangu
Ia sudah tiada berkelopak lagi

Kualalumpur,2004


Sebuah Kata Yang Pecah

Kueja setiap ziarah ayatbatumu
Requiem isak bumi
Bumi yang menapaskan ruh
pada namamu
Kubangun kecemasan
Karena kehilangan alifmu
di setiap pintu rumahmu
di setiap aku menyeru
Aku rebah di bumi
Rebah menciumi tapakdemitapak kakimu
Menciumi rahasia katademikata
yang kau tebarkan di sajadahmu
Aku rebah di sebuah kata
yang kau ayatkan pada napasku

Banjarbaru, 2005


Notasi Di Atas Kota

Traffic light tibatiba padam
Seperti hutan pinus dalam angin
Fijarnya tak sempat melahirkan ayatayat pada bibir
Di hobbies cafe orangorang tak ubahnya
ruh notasi meluruhkan bulubulu mata
Gelas juice yang berisi parfum dekadensi
mendesiskan serbukserbuk blues
yang tak mampu dibaca ribuan tuts di jariku
Di balik itu kau berkata : Carilah wajahmu dalam wajahku
Jam lebih cepat memburu diriku
di sepanjang trotoar yang basah oleh penyanyi sunyi
Basah oleh percakapan tak usaiusai

Orangorang masih juga hanyut dalam gelas kaca
dalam kepak malam seribu rupa
wajahmu terus juga menghitamkan deretan meja dan kursi
dalam jarijariku yang diam
Kota yang diam

Banjarbaru, 2005

edisi 18

Di Kolam Garden City Waktu Pagi
: buat Azizah

Tidak beriak
Tidak berambul
Tidak bergelegak tidak
Aku yamg menyelam kataku
Cahaya pagi bercekikikan di atap apartement
berlelehan ke setiap tingkat

Kemana darahku
Tidak mengalir lagi
Mengalir ke dalam jiwa kasihku
Aku air
yang memancar dari sumber kesejukan
Aku ikan
yang berenang dalam pengembaraan rindu
Akulah kolam
kataku
Lihat siapa yang gemerlap
dalam busabusa cinta
Kembang serojakah ?
Kau adalah aku
kau berbisik
Kita yang menghirup harumnya
Cahaya pagi

Bandaraya Melaka, 2004


Apa Yang Kau Renungkan Norsitah

Hujan begitu tibatiba menderas
Jalanjalan menjerit atap rumah sembilu
Langit jelaga
Danau Kota pun seperti kehilangan semangat

Kau seperti tiada hirau dan mematung di kaca jendela
padahal kaca itu telah mengabur kena tempias
Apa yang kau renungkan Norsitah

Ketika hujan mulai usai
Norsitah tiada lagi di situ
Hanya ada goresan jari di kaca :
Wahai hujan mengapa begitu tega
kau hapus sebuah nama yang tertulis
di lembaran hatiku padahal aku menghapalnya
bahkan hurufhurufnya tereja dalam igauanku

Danau Kota terbatabata belajar mengeja
bayanganku yang semakin mengabur jua

Kualalumpur, 2004


Azizah Di Mahkota Parade

Selendang warna fajar menyingsing
bergayut di jenjang lehermu
Tahutahu kenapa gerangan aku tak kuasa
membalas pantunnya
duhai sesungguhnya aku sudah siap merangkainya

Manakala angin membawa harum
kembang goyang di sanggulnya
Wahai aku teringat Azizah

Ketika aku menulis sebuah nama
dalam tidurku, kau berpesan :
Ingatkan nanti kita kan berjumpa
di Mahkota Parade berbalas pantun

Seusai burung dara itu terbang jauh ke awanawan
Hanya meninggalkan bisikan
Aku tiada pernah jumpa lagi dengan Azizah
Namun aku masih menulis
sebuah nama dalam kenangan

Bandaraya Melaka, 2004

edisi 19

Di Kota Mas Kita Bersitatap

Bungabunga cinta
Mengharumi angin pagi
Sampai aku di Garden City
Mabuk kepayang
Kubuka jendela hati
Siapakah gerangan dia

Pagi itu hatiku begitu hampa
Duhai ada sesuatu yang hilang dalam diriku
Yang tak pernah ketemu
Seusai di Kota Mas itu

Cahya di timur terus juga mengurai senyum
Dan kicau burung tetap setia merisalahkan pagi
Aku terajal di arus sunyi

Garden City, Melaka 2004


Di Atas Causeway

Antara Johor - Woodlands
Kita tibatiba menjelma sepasang merpati
dan mabuk di atas Causeway
Sepertinya cuma milik kita berdua bersulang anggur
Terbang bekejaran kelazuardilangit dan menukik
ke selat di mana terhampar buihbuih cinta
Lalu kita baringkan tubuh kita sambil berpelukmimpi
Sedang piala di tangan tak hentihenti terisi
Kemudian bibir kita saling berbisik
Cuma kita yang mampu membuka rahasianya
Setelah itu kau merapikan rambut yang tergerai
di dadaku
Mercuri sepanjang Causeway telah memekarkan seroja
di taman kasmaran kita
Kita bersitatap dan tersenyum
Wajah kita bersemu merah jambu
Antara Johor - Woodlands

Woodlands, Singapura 2004

Hasrat

Kemana mata dalam asap dupa malam
Ah tiadalah bintang menghantar suluh
Sampai hati kiranya kemana jua
Terbang burung pialing memburu nasib
Bagaimana lagi bila jembatan licin
Rasa sesak nafas di dalam dada
Hasrat hati tiada jua tumbuh kembang serai
di padang jumampai

Tengah malam apalah rasanya
Bila diingat semakin jua dikenang
Tiada pun memberi alamat
Kuyakini langkah
Wahai kemana pembaringan membuang limbai

Tak tahulah
Bila berembus kemana pelimbaianku
Bila memburu kemana lorong nasibku
Bila mimpi ada jugakah barang secuil
jangan menyentuh lelap tidurku

Banjarbaru, 2005

edisi 20

Kisah Kasih Di Suatu Taman

Asmara tiada pernah mengenal musim
Bersemi pada siapa pun dalam kehidupan
Mekar dibungakan
Dan wangi pun di harumkan

Pada suatu taman
Seorang kakek menunggu sang kekasih
Tak juga kunjung tiba
Bangku seperti membakar dirinya
Walau pun berrada sumbang
Ia mencoba membunuh risaunya dengan senandung

Di tengah kicau burung
Matanya berkacakaca
Menampak sang kekasih muncul di balik rerumpun
bunga
Nenek itu berkata : Maafkan sayang daku sejak tadi
sudah datang tapi hatiku begitu bergetaran dan aku
hampir tak percaya ada pertemuan yang lahir kembali
Kakek itu tak berkata apaapa
Namun sang kekasih erat dalam pelukannya
Alangkah harumnya airmata yang meleleh di pipi
nenek itu dan semerbak di dada kakek
Kakek berkata lirih : Aku kini menemukan permataku
cemerlangnya melebihi matahari di timur
Rambut nenek bertumbuhan kupukupu beranekawarna
ketika angin pagi mengusapnya
Kedua hati berpaut bagai laut berombak lembut
mencium pantai
Mata bertemu mata, bibir bertemu bibir
Membuka lembaran limapuluhlima tahun yang silam
Sebuah asmara yang kandas di tengah jalan
Nasib jualah yang memisahkan mereka
Namun tiada sangsi atas sebuah kesetiaan
Mereka tetap bertahan
Sungguh tuhan mahapengasih lagi penyayang
Kakek dan nenek itu dipertemukan
Dalam asmara yang tak pernah padam

Kakek dengan hati berbungabunga lalu berkata :
Tidaklah dinamakan perjuangan
bila tidak ada pengorbanan
Nenek mengurai senyum dan menjawab :
Jika ingin mendapat bahagia
Mesti tahan segala derita

Kedua insan itu kemudian mempererat ikatan
dalam sebuah pelaminan
Dan akan menulis sebuah epitaf
pada batunisan mereka sendiri
Bila tiba akhir menutup mata

Banjarbaru,2006


Matahari Mabuk Kepayang

Alangkah nakalnya angin laut senja itu
Menggeraikan rambut sang nenek
Sehingga wajahnya jadi merah jambu yang terbenam
di dada sang kekasih
Sang kekasih dengan lembut memetik bungabunga
yang bermekaran di hatinya kemudian menyuntingnya
di rambut sang kekasih
Debur di hati kedua kekasih itu melebihi merdu
senandung ombak mencium pantai
Sang kekasih berbisik lirih : Aku kupukupu, kejarlah
Kemudian dengan manja terbang di buihbuih cinta
Sang kakek dengan gairah menangkap kupukupu itu
namun selalu digoda oleh lambaian kelapa
Hai lihatlah aku menari di kulminasi ombak
Tunggulah sayang aku menjelma lumbalumba
Tapi sang kekasih kembali terbang
Sang kekasih terus juga mengejar dan mengejar
Alangkah nakalnya angin laut senja itu
Terus juga menebarkan aroma anggur
Akhirnya sang kekasih tertangkap juga
Dan mereka terbaring di atas hamparan matahari yang
mabuk kepayang di kaki langit

Banjarbaru, 2006


Di Arus Sungai

Adalah buluh hanya sebatang buluh sayang
Disusunlah disusun jalan titian
Jumampai hanya tumbuh kembang melati
Adalah melati hanya dipetik sekuntum sayang
Aduhai disimpanlah disimpan
Hanya disimpan di dalam peti

Suluh bernyala padam disulut lagi sayang
Remangremang di tangan duhai mencari jalan
Jatuhbangun aduhai membuang limbai
Adalah nyanyi disenandungkan sayang
Aduhai disenandungkan cerminlah badan
Hanya cermin tiadalah pecah di dalam hati

Kularutkan siang dan malam
Siang bermenung malam bergayut mimpi
Kularutkan sehiris bulan
Kularutkan di arus sungai pasang
Kularutkan
Harapan orang hilir mengambilkan
Aduhai sang kekasih dalam idaman


Banjarbaru, 2004

edisi 21

Nyanyian Ruh

Sesampainya di puncak
Nyanyian yang lampas lamatlamat
membuat aku jadi musafir bersayap
masuk ke dalam kukus kemenyan
Aku kehilangan arah lalu lunglai
ke dalam diriku sendiri dan terjerembab
Mataku tak bisa berbuat apaapa

Kau mengintai di balik bulubulu mataku
sementara kukus kemenyan mengulakulak
nyanyian yang selama ini kau nyanyikan
Aku bernyanyi dalam nyanyimu
bernyanyi dengan napas sunyi

Kayu cendana berembus dari belukar
Tibatiba aku kehilangan liriklirikku
bulubulu sayapku luruh
luruh dalam api pedupaan yang semakin mengangah
semakin juga rambut malam memburai

Aku tak ingin mengenangkan
apa yang terkandung dalam diriku
Jiwa yang berlelehan oleh basahnya tanah
bau adam yang membelahbelah airmata

Aku mengerti kau parau memanggilmanggil namaku
Apa yang mesti kujawab sebab aku pun jauh dari diriku
Tanganku memeluk sunyi
Tapi jika kau mencium kukusku
Itulah baraapi pedupaan ruhku

Aku juga tahu nyanyiku berlepotan kelatikan suara sunyi
Bibirku pun pecah memanggil namaku
manakala pedupaanku kelatikan menghembuskan
kukus napasku
Tapi jika kau menampakkan diri
Ayolah jangan kita bernyanyi di gelapnya malam
di ruh yang sunyi ayolah

Banjarbaru, 2005


Kaukah

Kucari apa yang mesti kucari
berlampar kesunyian malam diamdiam
menghembuskan bisikbisik tingkah angin
Katakan padaku siapa yang mengusik
seiris bulan lagi asyik becermin di tengah kolam
Kaukah
Terasa ada tajam jarum melati menisiknisik risauku
Kusingkap tatapan mataku jadi seribu sayap
menyusur ke mana ombak masuk ke dalam gumam bibirku
Kaukah
Katakan padaku siapa bermaskumambang sayupsayup
di seberang sana
Jahit baju carik sabuncu
Ngangal napas kaki balancat
Sakit badan terasa ngilu
Sangkal di hati tidak badapat
Lalu
Kemana waswas menyimpan riak dalam diriku
Kemana ayun bibir kalau bayang hilang bagasut
Bayang yang hilang bagasut
Disangka punai terbang hinggap
Terbayang diri lama taungut
Marista badan di malam gelap
Kaukah
Mengunci langkahku ketika aku membuka ingatan
semalammalaman menatap mukaku dipermukaan
kolam timbultenggelam
atau katakan padaku
langitkah mengenakan kemban
mengenakan apa yang kau sembunyikan di dasar kolam
Kaukah
Rintihku mengiris tujuh iris tatapan
mengiris tujuh iris bulan se iris
Kolam masih juga menghampar tujuh kesunyian
menghampar kur sumangat
Kaukah

Banjarbaru, 2005


Mendulang Cahaya Bulan

Dosadosa siapa yang menyembul dari tujuh patala bumi
menciarciar di atas kehidupan
Dosadosa siapa yang melaras dari tujuh patala langit
meraung raung di atas semesta
Malam memberi bulan sepenuhnya terang
Ya Rabbi dosadosa penyairkah yang mengotori asmamu
sampai arasymu bergoncang ?
Duhai kami yang tunduk terpejam tafakur
tangantangan gemetar jarijari menisik batubatu tasbih
pecah berdarah
Kami datang ke altarmu Ya Rabbi, menadah
Kami pendulang yang tadzallul sujud di kakimu
datang dari duniawi yang sesungguhnya kau palingkan muka
Malam ini lapangkan napas kami
yang mengalir ke tapaktanganmu mengalir ke Hu Allah
Batubatu tasbih adalah wirid fana kami
Batubatu tasbih adalah zikir rindu kami
Sajadah adalah dulang kami
Malam ini kami mendulang cahaya bulanmu Ya Rabbi
Kami lenggang dengan muraqabah iman kami
Kami basuh batubatu tasbih dengan tobat nasuha
Kami bilas dengan airmata lailahailallah
Dulang kami penuh batubatu tasbih O cahaya bulan
Galuh bulan galuh cahaya bulan galuhmu Hu Allah
Sebiji bulan seribu bulan lailahailallah
Selembar cahaya bulan seribu cahaya bulan lailahailallah
Duhai beri kami barang selembar cahaya
yang dapat menghapus segala dosadosa
Kami dulang cahaya kedamaian
Kami dulang cahaya ketentraman
Malam ini kami dambakan cahaya cintakasih
Karena kaulah yang mampu menyucikan hati kami
yang bergelumang
Karena kaulah yang mampu mencabut tamak kami
Ya Rabbi hidupkan jiwa kami yang tak beruh
Malam ini dulang kami lenggang dalam mardatillah firmanmu


Banjarbaru, 2005

***
Galuh : sebutan lain dari intan. Bagi pendulang
tabu menyebut nama intan.

edisi 22

Luka Langit

petaka apalagi menimpa negeri ini
tak pernah berkesudahan
dan tak terhitung lagi
entah berapa ratus riwayat
menorehkan luka
perih yang terus juga menganga

dan betapa aku teramat nestapa
anakcucuku akan terperosok kedalamnya
sebab langit menghamparkan ayatayat darah
membelahbelah batubumi
diakah yang menanggung dosa
derita semesta

sementara tak ada yang pernah tahu
poros dunia
terus juga menggelindingkan bola kehidupan
keabad yang menusuk mata

duh kuhampar sajadah duka
dalam keheningan jiwa

Banjarbaru, 2006


Lilin Ulang Tahun

Aku masih berdebar
gempa tektonik dan gelombang tsunami
memuntahkan banjir bandang air laut
tak pernah pupus dalam ingatan
mata senantiasa perih meneteskan riwayat nestapa
ribuan nyawa yang tertulis di lubuk nurani

“ Sepanjang garis pantai Lhoksemawe - Lambada
aku berlari
kakiku menjerit di pasir dalam gumpalan buih
angin berkabut laut hitam
mulutku pecah berdarah memanggil namamu
di antara mayatmayat berserakan dan reruntuhan
porak poranda
tak ada jawaban bahkan tak ada tanda yang tersisa
aku menjadi kosong
Gemawan mulai turun matahari semakin tenggelam
dan hari berangsur kelam
Di pasir
di mana kau pernah merajah namamu
dengan hurufhuruf yang aku ajarkan
aku bersujud :
(Kakek ajari Cut tari ombak dan terumbu karang
seperti lumbalumba
ayolah
Angin begitu akrab di rambutnya
Matanya bertumbuhan bungabunga laut
Kakek tidak lama pulang ke Kalimantan kan
Cut pengen merayakan hari ulang tahun Kakek
Desember nanti di Aceh
Kakek Cut cape, gendong )
Tuhan bukakan pintumu bagi hambamu
seperti yang kau janjikan “

Aku masih berdebar
dan bergetar menyebut namamu
manakala lilin Desember menyala
di hari ulang tahunku

Banjarbaru 31 Desember 2005
Tafakur Memandang Waduk Riam Kanan

memandang permukaan wajahmu begitu tenang
langit yang terapung di atas membiaskan spektrum
kehidupan dan mengalir dari bibir bendunganmu
gemuruh di tubuh sungai
entah berapa kampung, dusun, kebunkebun, ladangladang
dan hutanhutan yang merelakan kau lahir
dengan sempurna di lembahlembah hijau
gununggunung yang menopang tubuhmu
dari segenap penjuru yang tak pernah terdengar keluh
dan orangorang tak pernah sepi datang ke sini
menimba kehidupan yang kau berikan
aku memandang pucukpucuk pinus yang berderai
entah apa terbaca hatimu
semacam memendam ribuan rahasia yang belum pernah
siapa pun mau menerjemahkannya
atau orangorangkah yang tak mau jauh berpikir sampai ke sana
tahunketahun senantiasa musim tak menentu
yang selalu lepas dari prakiraan cuaca
dan sungguh kau semakin merenta jua
guratanguratan semakin nampak di keningmu
karena lukaluka ini semakin menganga
aku pernah mengingatkan hal ini kepada orangorang
seperti yang pernah kau ajarkan padaku
tapi mungkin kepercayaan ini begitu purba
di halayak zaman penuh pesona
masih juga wajahmu begitu tenang
tapi ombakombak di wajahmu terus juga melayarkan
bayangbayang kegelisahanku
pada bendunganmu yang meneteskan darah di mataku
dan gemuruh di tubuh sungai
meluap sampai kesegenap penjuru
karena gunung tak berhutan lagi
bukitbukitbatu telah menjadi material jalanan
rumah pemukiman atau gedunggedung bertingkat
membayangkan kau tak mampu lagi menampung
guyuran hujan yang berkepanjangan dan loncatan air
dari lerenglereng perbukitan sedang bendunganmu
kian keropos dimakan zaman
membayangkan peristiwa duka yang tak hentihenti
entah berapa kampung dusun bahkan kota ini
dengan penghuninya akan musnah tiada tersisa
dalam muntahan bendunganmu yang teramat mengerikan
membayangkan sebuah kota yang bernama serambi mekah
dalam riwayat yang menyedihkan

masih tersimpan dalam ingatan
sebuah tangis pertama ketika kau lahir
menulis hari kelahiranmu di tebingtebing gunung
dan menulis perhentian hidupmu di lembahlembah
langit dan pepohonan hijau dan bukitbukit batu
saksi sejarah dari sumber hidup dan kehidupan

tapi juga sumber dari petaka
orangorang selalu meratap setelah bencana
tapi adakah yang peduli mengapa terjadi bencana
setiap aku memandang permukaan wajahmu yang biru
dengan segala pinusmu yang belederu
Tuhan sesungguhnya kau tak ada niatan murka pada negeriku

Banjarbaru, 2001

edisi 23

Dundang Duka Seribu Burung

Yulan ya lalalin
Dahan mana aku berhinggap
Awan mana aku bersayap
Matahari mana aku berterang
Sawang jadi bayangbayang

Hutan kehilangan pohon
Pohon kehilangan daun
Duka langit luka menganga
Dayak yang nestapa

Pegunungan meratus hancur
Cerobong asap mesin pembabat amuk
Rampok yang mabuk

Damaklah mataangin
Sebab guntung tanpa puaka
Sungai tanpa muara
Kembang ilalang terbang
Kepak sayap yang lengang

Yulan ya lalalin
Kemana senyap kemana ratap
Kemana kepak kemana retak
Dalam sembilu mesin gergaji

Menyarulah sekuat batubatu yang remuk
Pepohonan yang tumbang
Rumah adat yang terbelah
Dalam perangkap eksploitasi
Dan penambang liar membabi

Terbanglah burung seribu burung
Membusur bianglala
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Dundang duka seribu burung
Adalah duka dayak terusir
Dari tanah pusaka
Darah getah kayu talikan adalah
Darah dayak tumpah dari balainya

Yulan ya lalalin
Hutan beratus tahun
Dibabat habis
Batubara dikikis
Untuk kekayaan tuantuan
Kami tercampak
Ke lembahlembah pengasingan
Terusir ke padangpadang perburuan

Kabibitak
Anak sima
Halimatak

Bumburaya
O apa bedanya dengan tuantuan

Ladang kehidupan
Kubur kehidupan
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Nyalakan damar di uluulu
Meratus menangis
Biarkan darah mengalir
Bertandik di duri rukam
Oi ambilkan sumpit buluh kuning
Di gununggunung batuampar
Ikat talimbaran
Di pancurpancur
Bila pecah bulanai
Jangan dipagat akar kariwaya
Pagari ruh dengan tulangtulang
Pagari ruh dengan darahdarah
Tajaki tunggul puaka di riamriam
Ruh nenek moyang menyumpah
Kalimantanku punah

Banjarbaru,2002


Dundang Seribu Penanjak

Gerimis apa gerimis aku terjebak
Dalam jala angin apa angin rimba
Dari tebing tapi aku tak ingin
Dengar siulan senja tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku

Dundang, alahai
Sungai berulak di batubatu
Deras mengalir segala rindu
Kutanjak seribu penanjak
Dalam tangkis jarajak
Lanting menyusur arus
Kemana peluh zikir didundangkan

Kutinggalkan seribu suratan
Seribu daunbambu berdesir
Mengeringkan airmata
Mengeringkan `seribu duka
Anak negri dari lereng gunung
Mengarung sungai rindu

Dundang, alahai
Hanya sungai yang memahami
Kalimantan kehilangan ruhnya
Pepohonan dirampok
Isi bumi dirampas
Bencana anak negri
Berakit membasuh segala luka
Gerimis apa gerimis aku terjebak
Dalam jala angin apa angin rimba
Uap fosilbatubara
Tapi aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku
Dalam gumpalan hitamarang

Doa seribu penanjak
Di alir kita bernafas
Di batubatu kita menyaru
Di ulak kita menari
Di deras kita bersunyi
Melepas sangkal di hati
Tapi aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku

Dundang, alahai
Melupa segala kenang
Melupa segala bayang

Teja di atas sungai
Rakit di atas sungai
Seribu penanjak
Harapan di atas ratap
Tenggelam janganlah tenggelam
Di dasar airmata

Maka aku tak ingin dengar
Kau sebut atas namaku
Diayun seribu penanjak
Di sungai tak pernah bimbang bercinta

Melupa segala kenang
Melupa segala bayang
Dundang, alahai


Banjarbaru, 2002
*
Dundang, alahai : lagu, nyanyian (meratap)
jarajak : tunggak yang menancap di sungai
Lanting : rakit dari bambu/kayu
menyaru : memanggil/mengundang


Dosa

Blincong bersumbu Hu Allah
Diayun padam janganlah padam
Merasuk sukma lailahailallah
Kukus dupa harum ma’rifat
Duduk menyampir zikir

Dosa anakadamkah di kelir berjelaga
Dosa yang kehilangan ayatayat firmannya
Yang merincihrincih langit tiada pernah henti
meracikracik bumi hitamdarahhitam
berlumur di unjuran sajadah

Dosakudosa kulikkulik elang rundakrakai
kepak yang kusutmasai di atas angsana Alifmu
Paraukikis airmataku Alif Alif
Kucari kemana jejak menuju ‘asyiq ma’syuq
kemana basirah kemana seru kemana napas
Dosakudosa anakadam tergeletak di muara lawang
lahaula wala quwwata illa billahi al’aliyyil al’aadzim
Radamradam malam tak lagi malam
Mandammandam siang tak lagi siang
Marcapada kehilangan terang
Tunduk tengadah Hu Allah

Kucabut gunung pasak tulangku alam bergoncang
Kucabut gunung talilidahku arasy pun bergoncang
Kutancap mujahadah di gedebok ragabadanku
Kutancap Hu Allah

Buah manggis bauntungai kemana gugurnya
Ngandihiyay ke rumpun banta ngandihiyay
Shiraathal mustaqim tasbih yang bersusun
Ihyhy diri duhai yang meminta ampun

Banjarbaru, 2005
***
blincong : lampu lakon wayang kulit
kelir : layar
basirah : melihat dengan mata hati
‘asyiq asyuq : vertical antara hamba dengan Allah
ngandihiyay : sinden wayang banjar
ihyhy : sinden wayang banjar
mujahadah : menyucikan diri
gedebog : batang/pohon pisang
rundakrakai : panik/berlari ke sana ke mari
bauntungai : pemanis sapaan
Radam : perasaan hati yang bergejolak
mandam : bingung/tatapan yang nanar

edisi 24

Zikir Madihin

Ilahi ...
Lah bumi ... lah bumi titian
Bumi ... titian
Tujuh lapis bumi untuk titian
Tujuh lapis langit untuk pegangan
Lam jalalah jalan aku tuliskan
Merasa ringkih s’luruh ragabadan

Kujemputi tasbih yang taburahai
Basmalah tali ikat perangkai
Supaya jalannya janganlah rundakrakai
Meniti fitrah mudahan niat sampai

Sesungguhnya aku gentar bermuraqabah di hadapanmu
Aku manusia yang tak bermuka tiada bersyukur atas
segala nikmatmu dan mendustakan s’luruh jalan yang
engkau hamparkan di mataku
Malam ini aku membuang maluku
Membuang sipusipuku
Disujudku gemetar mudraku
Girisan menadah ke arasymu
Parau menyeru asmamu dalam isakku
Pedih mataku dalam cahaya matamu

Ya Rabbi jangan engkau padamkan lampu basirah
di tanganmu
nyalakan ma’rifatullah dalam bathinku
Ilahi ...
Lah lemah ... lah lemah lunglai
Lemah ... lunglai
Lemah lunglai jiwaragaku dalam nyala agungmu
tadzallulku tiada terkira mengotori
Riyaddhus Shalihin junjunganku
Aku sujud mencium Rabbmu
Basuhkan syahadatku dengan ayatayat firmanmu
Bilaskan dengan airmata telaga Malakutmu
Aku manusia yang sesat dalam kasihsayangmu

Ilahi ...
Lah bunga ... lah bunga tanjung
Salaga ... belah
Bunga tanjung salaga belah
Lah kunang ... lah kunang
Kunangkunang di rumpun serai
Ampunkan dosaku banyak bersalah
Sebelum aku mati kita jangan bercerai

Amuntai, 2005

***
fitrah : kesucian
muraqabah : mendekatkan diri pada tuhan
tadzallul : menghinakan diri di hadapan
Allah
Riyaddhus Shalihin : kitab hadis nabi
Rabb : Allah mengatur alam semesta
malakut : kerajaan Allah
taburahai : terburai


Blues Pelagu Sunyi

Tutstuts itu ditumbuhi cannabis sativa
Bulan jadi mabuk dan Guido Aretinius
pada bangkit di puncak octavo
mengubah liriklirik dari tubuhmu
yang kehilangan si pembasuh dosa
Entah ke mana awangemawan di atas katedral
berarak mengalirkan ruhruh notasi
mengalirkan jiwa yang berabadabad
mencari kekasih dari masasilam
Aku bangkit dari rahim gregorians
O Santo Antonio
Meskikah aku menjerit
Kau telah menjerit dalam genggaman kressendo
Meskikah aku meratap
Kau telah meratap dalam pelukan lamentoso
Meskikah aku bergelak O Santo Antonio
Ternyata kau mabuk dalam mulut furiroso
Ruhruh itu tersesat dalam jiwa yang sunyi
Dan menguburku jauh dalam diri

Banjarbaru, 2004

edisi 25

Tangis Dalam Doa Dan Zikir

Belum lagi kering airmata kami,
berhamburannya rosario Flores diterjang badai
dan luka cuka menganga tsunami dan
bombom teroris memporakporandakan Bali
hangus hati kami jadi bara, bengis lahar merapi
tak hentihenti bencana di negeri ini
Airmata mana lagi yang kami alir karena
laut airmata telah menjadi samudera
Duh, Yogyaku, Yogyaku, Yogyaku kau kah
kini sekarat dan meregang nyawa
aku tak percaya,
Jika ini adalah cobaan bagi kami, ya Rabbi
tunjukkan keagunganmu dan kasihsayangmu
pintaku kembalikan Yogyaku dan kuserahkan diriku
padamu untuk penggantinya
karena yang menjadikan bencana ini akulah yang berbuat dosa
Akulah yang mengotori kesucian Indonesiaku yang tercinta ini
Indonesiaku jadi bergelumang maksiat di manamana
Indonesiaku jadi bergelumang korupsi di manamana
Indonesiaku jadi begelumang persetruan politik di
manamana
Indonesiaku jadi begelumang ajang ambisi kekuasaan di manamana
Indonesiaku tak pernah bernapas lapang karena dijejali
janjijanji bibir bisabermadu
Indonesiaku yang kurus dan melarat oleh sembiluduka
Oh Yogyaku yang malang
Oh Yogyaku, Yogyaku, bernapaslah
Oh Yogyaku, Yogyaku, bangunlah
Oh Raudalku, Wahidaku, Sautku, Handoyoku, Itaku, Katrinku dan sahabatsahabatku lainnya terpelanting di Ngadinegaran basah kuyup oleh hujan tangis dan sayatan jerit memilu dalam gemuruh bumi yang bergoncang
dengan hati yang tercabikcabik
mengangkat mayatmayat dari reruntuhan dan timbunan tanah dan lumpur
dan menulis puisi hatinurani seluruh risalah malang
dan nestapa di batubatu yang bergelindingan di jantung Yogya
Dengarlah bagaimana bahana membelah angkasa
Orangorang tak punya lagi rumah menatap langit yang luka berdarah di tengahtengah padang reruntuhan dan
puingpuing berserakan dan rataptangis kehilangan
sanakkeluarga di penampungan yang tak pasti dan tak tahu lagi asalusulnya, negeri apa
Dengarlah bahana merobek cakrawala
Lapar lapar lapar
Haus haus haus
Subhanallah, kami dengar suarasuara itu adalah sobekan hatinurani kami sendiri
Subhanallah, mayatmayat yang berserakan itu adalah tulangbelulang kami sendiri
Ya Rabbi, kami sujud di kakimu
Tangantangan kami menadah, mengetuk pintumu
dengan hati yang gemetar
memohon ampun atas segala dosadosa
Kami sujud di kakimu, kembalikan Yogya kami
Ya Rabbi, kami seru namamu tak hentihenti
di ruasruas jaritangan kami yang berdarah
zikir anak adam yang merebut hatimu,
Yogyaku Yogyaku Yogyaku

Ya Rabbi, kami sujud di kakimu
Tangantangan kami menadah, mengetuk pintumu
dengan hati yang gemetar
memohon ampun atas segala dosadosa
Kami sujud di kakimu, kembalikan Yogya kami
Ya Rabbi, kami seru namamu tak hentihenti
di ruasruas jaritangan kami yang berdarah
zikir anak adam yang merebut hatimu,
Yogyaku Yogyaku Yogyaku

Banjarbaru, 2006

edisi 26

Jahitan Zikir

Rumah kecil dan sederhana ini membuat aku
sering datang ke mari
Ia bertutur :
Kujahit gorden jendela dengan zikir
Kujahit kelambu dengan zikir
Kujahit bantal guling dengan zikir
Kujahit seprai dengan zikir
Kujahit baju dengan zikir
Kujahit taplak dengan zikir
Tidakkah jarum dan benang itu jasmani dan rohani ?
Suatu hari aku kembali bertamu
Di dalam cahaya lampu sempor
Perempuan itu menjahit kain kafan
Aku bertanya, ia menjawab dengan fasih :
Kusiapkan sebelum ajalku tiba

Banjarbaru, 2006


Narasi Musafir Gila

Mendadak cahaya itu terjebak dalam belitan kabut
Porakporandalah cakrawala dan aku kembali harus
bergumul dengan persimpangan jalan
Tapi aku tak sudi mengatakan : Ajalkan aku di sini

Kudakudaalas berloncatan pada goncangan bumi
Pada angin yang menepuk dada
Kugilakan musafirku ke padang luas
Padang abadabad persembunyianmu

Sebab aku telah mengatakan :
Kuabukan s’luruh mimpimimpi purbaku
Dan kutapakan dalam tubuhtembokmu
Agar tak kan kau usik lagi s’luruh jejakmu

Bandung, 2006


Tak Habis Kusebut NamaMu

Ketika beduk pertama dinihari
Perempuan itu bangun dari tidurnya
Tangan kanannya meraba suaminya
“ Masih mengalun nafasnya ” : Alhamdulillah
Tangan kirinya meraba anaknya
“ Masih berdenyut nadinya “ : Alhamdulillah
Ketika membuka gorden jendela
Nun di timur sang surya juga bangun dari tidurnya :
Subhanallah
Ya Rabbi pintaku jangan kau alpakan aku menyebut namaMu

Banjarbaru, 2006


Pada Suatu Halte

Aku menyusuri jalan raya gandul
Entah apa siang itu Cinere menyeret kakiku ke Depok
sepanjang jalan bau keringat angkot.
Matahari berlumuran debu di panas menggantang
Ketika aku lengket di sebuah halte
Tibatiba aku merasa berdua
Jangan ada yang kelupaan keperluan bersalinku ya Kang,
sapanya fasih padaku
Entah apa aku mengiyakan
Tanganku terus digandeng, aku berupaya agar ada
keseimbangan mengikutinya
Hamilnya begitu ranum
Dan menyapaku lagi : Terserah ya Kang apa lakilaki atau
perempuan bila lahir nanti, tak ada kata lain selain syukur
Dan entah apa ini kuiyakan sungguhsungguh
Tibatiba Depok berubah menjadi rumah bersalin
Dan aku begitu mencemaskan diriku ketika dia dibawa
masuk ke sebuah kamar bertiraiputih :
Tunggu saja di sini sampai ada tangisan kecil
Tapi sampai matahari tak ada lagi di Serengseng
Cuma terdengar gumam Ciliwung memapah senja

Depok, 2006

* menggantang : terik/menyengat


Jakarta, kucemasi diriku

Jakarta, setiap datang ke sini
Kucemasi diriku bila ada niat menetap
Bagaimana tidak
Jakarta, menjadikan seorang beringas
Mautakmau harus jadi serigala atau melata sebangsa ular

Jakarta, sebuah gelanggang pertarungan hidup dan kehidupan
Tak ada mengenal kata menang melainkan bertahan,
selebihnya kalah : jadi sampah
Jakarta, sebuah kota surganeraka dunia
Aku mencemasi diriku terperangkap ke dalamnya
Jakarta, hanya ada satu hari kata sanaksaudara
selebihnya tidak

Aku mencemasi Indonesiaku
Sebab tak ada lagi darahairmatakeringat
seperti apa yang dititipkan oleh nenekmoyangku
Di kota ini

Jkt, 2006